Fast Fashion itu Bahaya! Ini Dia Dosa Fast Fashion yang Perlu Kamu Ketahui!

Fast Fashion itu Bahaya! Ini Dia Dosa Fast Fashion yang Perlu Kamu Ketahui!

Fast fashion didefinisikan sebagai fenomena tren fashion yang berganti dengan cepat dan diproduksi secara massal dengan konsep siap pakai. Berkembangnya industri fast fashion yang menekankan pada kecepatan, kuantitas dan ukuran mendorong budaya konsumsi, sehingga kerap terjadi masalah terhadap kesejahteraan manusia, seperti perdagangan yang tidak adil, pemanasan global, polusi, terutama peningkatan jumlah sampah. Sehingga fashion item yang diproduksi secara cepat cenderung akan dijual dengan harga murah. Sayangnya banyak masyarakat yang menutup mata dengan isu betapa berbahaya fast fashion. Banyak orang yang tetap berbelanja fast fashion dan mementingkan harga murah daripada memikirkan dampak buruk yang diberikan.

Bersembunyi dari harga murah dan model trendy berikut ini beberapa dosa-dosa fast fashion yang sangat merugikan.

Fast Fashion Membuat Penumpukan Limbah

Limbah fast fashion adalah salah satu penyumbang sampah terbesar di dunia. Berdasarkan $ Fibre2Fashion $ pada tahun 2020, ada sekitar 18,6 juta ton limbah tekstil dibuang di tempat pembuangan akhir yang kemudian berakhir di laut. Dikarenakan proses pembuatan barang barang fast fashion diproduksi dengan cepat, maka proses produksi banyak mengesampingkan kualitas barang. Sehingga barang fast fashion cepat rusak dan menumpuk menjadi limbah. Mirisnya Rata-rata, konsumen membuang 60% pakaiannya hanya setahun setelah membeli. Jika hal ini terus berlanjut maka diperkirakan pada tahun 2050, limbah tekstil di seluruh dunia akan mencapai 300 juta ton, lebih banyak dari sampah plastik. Jika dibiarkan Fenomena ini adalah hal yang membahayakan bagi kelanjutan hidup manusia di masa depan.

Produksi Fast Fashion Tidak Ramah Lingkungan

Industri fashion adalah konsumen air terbesar kedua di dunia. Mereka membutuhkan sekitar 2.700-liter air untuk memproduksi satu kemeja katun. Manufaktur tekstil bertanggung jawab atas sekitar 20% emisi air bersih global, dengan proses pencelupan dan finishing yang bertanggung jawab atas 35% mikroplastik primer yang dilepaskan ke lingkungan dari proses pencucian kain sintetis seperti poliester, nilon, dan akrilik. Industri fashion juga boros energi karena membutuhkan 10% emisi karbon global, lebih banyak daripada gabungan dari penerbangan luar negeri dan pelayaran laut. Sebagian besar garmen dibuat dari serat sintetis yang berasal dari bahan bakar fosil, sehingga produksinya lebih boros energi daripada serat alami. Jika pembuatan barang fashion membutuhkan energi bumi sebanyak itu, maka dosalah fast fashion karena membuat produk yang hanya bisa digunakan sebentar dengan dampak yang sedemikian besar.

Eksploitasi Pekerja

Tidak hanya dalam proses pembuangan limbah, dalam proses pembuatannya Industri fast fashion memiliki konsep produksi untuk menyediakan pakaian dengan murah dan memberi keuntungan sebesar-besarnya kepada penanam modal telah membuat mereka mencari mati-matian sumber-sumber yang murah di seluruh dunia. Industri fast fashion secara jahat telah $ mempekerjakan buruh dengan tidak manusiawi dengan upah rendah. $ Bahkan di Ethiopia, upah minimum pekerja industri fast fashion digaji hanya dengan rata-rata £5,75, atau sekitar Rp100.000 seminggu. Sehingga dapat dikatakan produksi barang fast fashion adalah eksploitasi pekerja karena upah tidak sesuai.

Memperkerjakan Anak Dibawah Umur

Fenomena pekerja anak ini sangatlah penting karena banyak yang telah menjadi korban dari penindasan korporasi dan mengalami kekerasan, sakit karena kondisi kerja yang berbahaya ataupun buruk, serta kehilangan masa kecil mereka. Permasalahan ini menjadi sorotan karena anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan dan seharusnya dilindungi. Banyak industri di dunia yang masih menggunakan pekerja anak-anak, salah satunya adalah industri fast fashion. Beberapa merk fast fashion brand yang pernah tersandung skandal menggunakan pekerja anak-anak adalah Zara, Shein, Forever 21, GAP, H&M, dan Urban Outfitters. Banyak perusahaan ritel fast fashion yang menjual produknya di Amerika dan Eropa namun proses manufaktur mereka berada di negara lain dan mengandalkan pekerja anak dengan alasan karena untuk menekan biaya produksi.

Fast Fashion Meraup Keuntungan Besar Dengan Membahayakan Banyak Aspek

Sesuai dengan pembahasan pada poin-poin sebelumnya bahwa fast fashion membuat penumpukan sampah, membahayakan lingkungan dan kesehatan, mengeksploitasi pekerja bahkan memperkerjakan anak di bawah umur. Hal hal tersebut dilakukan produsen fast fashion untuk mengeluarkan modal sekecil kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar besarnya dengan tidak memperhatikan bahaya yang ditimbulkan.

Mengancam Slow Fashion

Oposisi dari fast fashion, slow fashion adalah sebuah konsep dalam industri pakaian yang berfokus pada penciptaan produk tahan lama, etika produksi yang ramah lingkungan, serta kualitas produk yang tinggi. Dalam praktik slow fashion, yang diprioritaskan adalah kualitas, bukan kuantitas. Slow fashion juga menekankan pada kesadaran konsumen dalam memilih pakaian yang timeless, versatile, dan berkualitas tinggi. Sehingga akan sering di temukan harga barang slow fashion akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan fast fashion. Maka dari itu, Fast fashion dapat mengancam keberlanjutan industri tekstil lokal karena produk murah dan massal menggantikan produk lokal slow fashion yang mungkin lebih mahal tetapi berkualitas lebih baik.

Dari sekian banyaknya bahaya dari fast fashion. Sayangnya di Indonesia belum banyak yang teredukasi dengan pembahasan buruknya fast fashion. Hal ini dibuktikan dengan masih banyak orang membeli pakaian hanya karena lucu dan teracuni oleh konten di lini masa sosial media, bukan karena ingin membeli karena butuh. Ditambah dengan hadirnya influencer fashion yang sering mengajak audiensnya dan merekomendasikan barang barang fast fashion yang sangat potensial merusak lingkungan. Belum lagi konsumen tergiur dengan harga pakaian yang murah. Bahkan beberapa orang tidak memikirkan apakah mereka akan benar benar memerlukan pakaian tersebut dimasa depan. apakah mereka akan memakai lagi pakaian tersebut dan apakah pakaian tersebut dapat selaras dengan baju baju yang mereka miliki sebelumnya serta pertanyaan pertanyaan lainnya. Padahal, berdasarkan ahli sustainable fashion Orsola de Castro, co-founder dari Fashion Revolution dan penulis dari buku Loved Clothes Last, Beliau beranggapan bahwa $ 1 pakaian setidaknya harus dipakai sebanyak 3000 kali.$ Maka dari itu diperlukan banyak pertimbangan sebelum membeli pakaian. Tetapi sayangnya fakta dilapangan menunjukan kebalikannya. Oleh karena itu, Edukasi berupa campaign terkait bahaya fast fashion di berbagai platform adalah hal penting untuk dilakukan.

Awardee Glow and Lovely Bintang Beasiswa 2022 dan Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Negeri Yogyakarta.

Artikel Lainnya: