MABA, Kami (Tidak) Butuh Libur!

MABA, Kami (Tidak) Butuh Libur!

Bagi seorang mahasiswa “kupu-kupu” (kuliah pulang-kuliah pulang) seperti saya, liburan selalu terasa panjang dan kadang-kadang membosankan. Informasi acara masuk kadang-kadang saja dan tidak tentu. Kalau ada, siap meluncur, kalau tidak, nganggur di kosan sambil “mojok-an” (pencitraan). Tipe mahasiswa seperti saya tidak akan kelihatan batang hidungnya di kegiatan kemahasiswaan, apalagi kepanitiaan OSPEK. Event besar sekelas OSPEK menjadi proker tahunan yang paling dinanti oleh para mahasiswa yang tidak ingin liburannya seperti saya. Betapa tidak, animo mereka untuk mendaftar saja sudah sangat tinggi, saking banyaknya sampai-sampai panitia oprec kewalahan mencoret mereka satu-satu (kira-kira begitu cerita teman saya). Animo tersebut sudah cukup menunjukkan event ini penting bagi mereka. Ya bagaimana tidak, di sana mereka akan mendapat teman baru (bahasa kerennya menambah relasi atau mencari gebetan baru?), melatih kerja di bawah struktur yang jelas, dengan demikian pengalaman bekerja mulai terbentuk, dan tentu saja laman CV akan penuh dengan dikeluarkannya sertifikat kepanitiaan.

Sebanding dengan gebyar eventnya, persiapan juga tentu lebih ekstra gebyar. Persiapan gebyar itu sudah dimulai berbulan-bulan lalu meskipun intensitasnya belum tinggi. Namun demikian, untuk saat ini dan beberapa minggu belakangan kemeriahan event sudah nampak. Mulai dari temu perdana sebagai ajang perjumpaan kali pertama untuk para panitia. Tatap muka itu sekaligus membuka seluruh rangkaian persiapan menyambut maba. Tentu saja temu perdana akan diikuti temu-temu lainnya yang tak terbilang jumlahnya. Banyak, sangat banyak kata teman saya. Dalam seminggu bisa dua sampai tiga kali kumpul untuk membahas rancangan dan eksekusi rancangan. Bahas proker tiap divisi tidak berhenti saat kumpul saja bahkan pergerakan dan usaha di luar itu lebih besar. Sepulang dari pembahasan proker pasti ada saja hal-hal lain yang “menyuruh” para panitia untuk tetap bekerja sana sini. Pusing minta ampun. Capek sudah pasti.

Kalau ditanya apakah di waktu liburan ini mereka tetap “libur”? Saya tidak tahu pasti. Saya sendiri sudah pasti menikmati kebosanan di liburan ini. Namun beberapa aduan sudah berdatangan perihal betapa sibuknya menjadi panitia OSPEK. Gambaran umum aduan mereka sama hanya dipoles dengan kata-kata yang sedikit halus. Ya dari aduan-aduan tersebut dan melihat persiapan OSPEK rasa-rasanya sesekali ingin berteriak ‘MABA, KAMI JUGA BUTUH LIBUR!’ liburan selama kurang lebih dua bulan dihabiskan untuk menyambut maba. Sebandingkah?

Dua bulan bukan waktu yang singkat untuk sebuah persiapan seperti OSPEK. Durasi persiapan yang panjang itu akan dipentaskan dalam satu dua hari saja saat hari H. Rasanya terlalu panjang dan terlalu bertele-tele untuk sebuah acara penyambutan. Namun lebih daripada itu, sebenarnya apa tujuan utama dari OSPEK ini? mengapa persiapannya selama dan sematang itu? Lalu mengapa acaranya semeriah itu? haruskah segebyar itu atau ini cuma pilihan dari beberapa opsi penyambutan?

OSPEK sendiri dibuat untuk memberi pengenalan sekaligus pembekalan bagi para mahasiswa baru tentang dunia perkuliahan sekaligus masa peralihan dari sekolah menengah menjadi mahasiswa. Di dalamnya juga akan diberitahukan perihal visi misi kampus dan sistem perkuliahan yang akan dijalankan oleh para mahasiswa. Melihat dan membaca deskripsi sederhana di atas, seakan-akan menunjukkan bahwa OSPEK tak perlu semeriah dan segebyar itu. Tidak perlu menyita banyak waktu dan menyedot banyak tenaga serta biaya dalam menyelenggarakannya. Sederhana saja yang penting pesannya sampai.

Kalau bicara perkara penyampaian poin-poin di atas, masalah sudah selesai. Sebetulnya ada faktor lain yang barangkali memaksa setiap kampus menyelenggarakan OSPEK dengan semarak. faktor lain itu adalah gengsi dan validasi. Bisa jadi, OSPEK menjadi ajang unjuk kebolehan dalam meramu acara semeriah dan sekreatif mungkin untuk menjadi menghasilkan yang terbaik di bidangnya. Gengsi antar kampus, fakultas, maupun prodi juga menyumbang atmosfer hangat persaingan perihal karya siapa yang terbaik di mata publik. Gengsi itu bermuara pada validasi orang lain atas karya dan tentu saja nama lembaga.

Belum lagi persaingan di level individu. Level ini menarik diberi perhatian lebih sebab mereka menjadi otak dari gemanya event OSPEK kampus, fakultas, ataupun prodi. Kualitas individu diadu di tempat ini. Karya terbaik akan selalu dibahas. Karya yang selalu dibahas akan dikenal banyak orang. Coba, manusia siapa yang tidak ingin dikenal banyak orang? Validasi atas diri sendiri sangat penting terutama di masa-masa seperti sekarang ini.

Faktor-faktor kecil tapi berpengaruh di atas sangat menentukan kemeriahan OSPEK, di manapun itu. OSPEK bukan sekadar panggung bagi mahasiswa barPeru mengenal kampus, mengenal sistem pembelajaran, atau mengenal teman baru, tapi lebih dari itu adalah “ring” bagi para panitia untuk menunjukkan bahwa kualitas dirinya adalah yang terbaik. Dari fenomena tersebut mungkin bisa sedikit menjelaskan kenapa OSPEK dibuat semeriah mungkin. Aroma branding kampus, fakultas, prodi,

dan individu sangat terasa di ajang-ajang semacam ini. Sehingga jangan heran orang berlomba-lomba menjadi yang paling menonjol di antara barisan yang ada.

Ketakutan terbesar dari situasi semacam ini adalah esensi dari OSPEK itu sendiri menjadi pudar atau bahkan hilang. Jangan sampai faktor gengsi dan validasi dari kampus dan individu merenggut hak para mahasiswa baru untuk mendapatkan materi yang selayaknya mereka dapat saat OSPEK. Hak para mahasiswa baru harus tetap menjadi prioritas. Apapun keadaannya. OSPEK dibuat untuk mahasiswa baru bukan untuk kampus, fakultas, prodi, ataupun individu. Nah, sekarang masih butuh libur ga?

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNY

Sejak lama menyukai sastra terutama menulis cerpen dan juga sangat sensitif terhadap isu sosial politik.

Artikel Lainnya: