Perkuliahan VS Keorganisasian: Di Mana Prioritas Mahasiswa Ilmu Komunikasi?

Perkuliahan VS Keorganisasian: Di Mana Prioritas Mahasiswa Ilmu Komunikasi?

Asyiknya dunia Perguruan tinggi bukan semata-mata karena proses kuliahnya yang terlihat simpel namun ternyata begitu killer, jadwal mata kuliahnya yang tidak selalu padat di setiap harinya, para mahasiswa bebas menyetel diri serta pakaian di tubuh (di kampus saya asalkan rapi!), atau di kampus mahasiswa belajar lebih merdeka dan mandiri untuk capaian pribadi. Namun demikian, dinamika berorganisasi tidak kalah penting nan heboh bagi sebagian besar mahasiswa sekarang ini. Manfaat-manfaat yang didapat ketika berorganisasi tidak jauh berbeda dengan yang didengar di ruang kelas bersama dosen. Bahkan organisasi kampus memberi ruang lebih banyak kepada mahasiswa untuk berekspresi tanpa adanya tekanan relasi kuasa seperti yang dirasakan di kelas bersama dosen, kira-kira begitu kata seorang teman saya yang aktif di salah satu organisasi kampus.

Ilmu komunikasi sebagai prodi yang dekat dengan keorganisasian sudah pasti menunjukkan intensitas tinggi dalam berdinamika organisasi. Maka tak heran ketika dibuka proses rekrutan antusias para mahasiswa Ilmu Komunikasi begitu tinggi, mulai dari hima, bem, dan lain sebagainya. Tingginya minat mereka untuk berdinamika dalam organisasi sekaligus mengamini pernyataan di awal bahwa selain banyak manfaat yang didapat, kebebasan berekspresi juga mendapat ruang luas.

Hasrat tinggi mahasiswa/i Ilmu Komunikasi terhadap dinamika berorganisasi ternyata memunculkan satu polemik kecil namun urgen. Sejauh observasi saya sebagai salah satu mahasiswa Ilmu Komunikasi, gairah para mahasiswa/i berorganisasi lebih besar dibanding mengikuti perkuliahan. Kesimpulan sederhana ini didapat setelah berkelana cukup jauh dan lama di dalam grup-grup WhatsApp teman-teman seangkatan. Salah satu contoh kecil adalah ketika penanggung jawab (pj) suatu mata kuliah mengajukan pertanyaan perkuliahan akan diadakan online atau offline, dan sebagian besar memilih online dengan berbagai alasan: jauh dari kampus, mata kuliah lain di hari yang sama online, malas ke kampus, dan tetek bengek lainnya. Lebih naas lagi ketika anggota kelas meminta dosen untuk mengisi kelas secara daring karena ada kegiatan penting di organisasi kampus. Kenapa memilih daring? Jawabannya sederhana, karena bisa diikuti sembari melakukan kegiatan lain yang lebih penting dari kuliah.

Ada dua pertanyaan besar sebagai respon fenomena di atas, pertama, apakah animo mahasiswa/i Ilmu Komunikasi yang lebih besar terhadap organisasi ketimbang mengikuti perkuliahan yang muncul karena kurang interaktifnya dosen ilmu komunikasi dalam memberi materi? Ataukah karena motivasi sebagian besar mahasiswa ilmu komunikasi lebih mementingkan organisasi daripada perkuliahan?

Mari kita bedah satu-satu. Apabila persoalan pertama menjadi pemicu, itu artinya banyak catatan yang mesti dibenahi oleh para dosen ilmu komunikasi terutama dalam semangat mengajar dan cara memberi materi. Semangat yang kuat dari dalam diri akan tampak dalam totalitas saat mengajar, dan dengan sendirinya teknik penyampaian materi juga sesuai dengan keadaan psikologi mahasiswa/i di era digitalisasi. Tak dapat dielak lagi bahwa faktor usia dan generasi memiliki andil penting tingkat interaktif dosen dalam mengajar. Semakin tinggi usia atau semakin jauh generasi pengajar dengan mahasiswa maka metode ajar dirasa semakin membosankan karena konservatif dan sulit dimengerti oleh mahasiswa yang hidup dalam suatu situasi yang selalu menerima pandangan baru setiap harinya. Mahasiswa/i mengharapkan dosen memiliki inovasi dalam memberi materi agar suasana tetap hidup sehingga terlihat interaktif dalam menyampaikan informasi. selain semangat dan interaktif, ruang kritik bagi mahasiswa/i juga harus dijamin. Space kebebasan berbicara ini termasuk kritik, belum membudaya pada kelas-kelas ilmu komunikasi sejauh yang saya temukan. Para mahasiswa/i sudah terjebak dalam kultur feodal yang ditandai kurang masukan terhadap dosen yang disampaikan secara langsung. Tendensi yang muncul setelahnya mahasiswa/i menjadi penurut di depan tetapi banyak protes di belakang. Relasi kuasa yang dipelihara di dalam kelas menjadikan dosen tak terbantahkan.

Lain cerita mahasiswa/i ilmu komunikasi memiliki motivasi berorganisasi lebih tinggi ketimbang bercengkrama bersama dosen di kelas. mahasiswa/i seperti ini biasanya lebih suka proses belajar yang langsung terjun ke lapangan. Kabar baiknya adalah belajar versi ini didukung oleh organisasi kampus seperti kegiatan pengabdian masyarakat atau sejenisnya. Kelas ilmu komunikasi tanpa praktek lapangan rasa-rasanya sangat kurang. Segala bentuk dan formula teori-teori dalam kelas ilmu komunikasi menemukan sasaran utamanya ketika keluar dari ruang kelas. Barangkali, motivasi semacam ini pada akhirnya mengantar para mahasiswa/i Ilmu Komunikasi pada gairah berorganisasi yang tinggi.

Animo yang tinggi terhadap dinamika berorganisasi ketimbang mendengar dosen berbicara dari para mahasiswa/i ilmu komunikasi cukup membuktikan bahwa ruang kelas lebih cepat membuat gerah daripada di luar kelas. Selain itu, kedua pihak yakni dosen dan mahasiswa/i juga memiliki kendala tersendiri yang pada akhirnya membawa kita pada fenomena tersebut di atas. Program Studi Ilmu Komunikasi memiliki sumber daya manusia yang banyak. Itu artinya, apabila dipakai dengan maksimal output yang dihasilkan pun sangat besar dan tentunya bermanfaat.

Fenomena yang terjadi sekarang ini merupakan buah dari proses panjang atas apa yang terjadi di sekitar kita. Tidak ada yang benar atau salah, baik atau buruk, mending ini atau mending itu, sebab semua memiliki preferensi masing-masing atas tujuan hidupnya. Masih banyak yang perlu dibenahi dalam proses perkuliahan terutama relasi dosen-mahasiswa agar tidak terjadi (lagi) dominasi mutlak.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNY

Sejak lama menyukai sastra terutama menulis cerpen dan juga sangat sensitif terhadap isu sosial politik.

Artikel Lainnya: