Ya, Namanya Juga Hidup. Kadang di Atas, Kadang di “Jogja”

Ya, Namanya Juga Hidup. Kadang di Atas, Kadang di “Jogja”

Penggalan sajak “Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan” oleh Joko Pinurbo sering kali dijadikan ungkapan kerinduan terhadap Yogyakarta. Namun, bagi beberapa penduduk lokal Jogja memiliki pendapat bahwa “Yogya hanya nyaman bagi para wisatawan, bagi mereka yang ingin menetap harus bersiap untuk bersabar.”

Banyaknya kasus dan permasalahan yang terjadi di masyarakat, membuat Jogja seakan sudah tidak pantas menyandang status Kota Pelajar. Tiap kali jargon #kotapelajar #kotaistimewa dikumandangkan, rasanya seperti aneh dan merasa bahwa jargon tersebut hanya formalitas belaka. Jogja kini hanya tersisa kisah nostalgia yang terus diromantisasi. Sesuai dalam buku “Jogja Bawah Tanah” yang menerangkan bahwa “Jogja itu selalu diromantisasi terbentuk dari kangen. Padahal setelah kita tinggal di sini, kita jadi tahu Jogja tidak baik-baik saja”

Jogja adalah Kota Pelajar dan Kota Istimewa, iya kah?

Siapa sih yang tidak bangga bahwa bumi kelahirannya mempunya gelar kota pelajar dan kota istimewa, pastinya mereka sebagai warga lokal akan merasa bangga akan gelar yang diberikan kepada bumi kelahirannya.

Di Jogja, terdapat banyak sekolah dan perguruan tinggi yang terkenal dan bergengsi. Setiap tahun, ribuan pelajar datang ke kota ini untuk menuntut ilmu. Selain karena biaya hidup yang terjangkau, Jogja memiliki daya tarik tersendiri yang menarik banyak orang. Setiap hari, ada berbagai acara seni dan budaya gratis. Biaya hidup yang terjangkau adalah salah satu keunggulan Jogja sebagai tempat yang nyaman bagi para pelajar. Warung makan di sini tidak perlu memberikan label “budget mahasiswa” karena hampir semua warung menargetkan mahasiswa. Namun, gaya hidup sederhana di Jogja perlahan-lahan berubah seiring dengan pembangunan yang meningkat. Mal dan hotel terus dibangun, jumlahnya semakin fantastis, dan mengubah gaya hidup masyarakat menjadi lebih hedon dan konsumtif. Sebenarnya, di Jogja banyak sekali pameran seni dan kebudayaan, banyaknya toko buku dan acara edukatif yang enteng di kantong masyarakat khususnya para pemuda. Namun bagi sebagian orang, mereka lebih memilih untuk asyik jalan-jalan di mal dan menghabiskan uang mereka daripada mengikuti kegiatan edukatif yang bermanfaat untuk mereka. Disamping itu, kedatangan masyarakat dari berbagai daerah membuat lingkungan di Jogja berubah, hal tersebut membuat warga lokal terpaksa beradaptasi dengan kebiasaan para pendatang. Banyak warga lokal yang merasa ditelantarkan oleh pemerintah, yang membuat mereka melakukan tindakan kriminal. Bahkan, banyak anak di bawah umur yang terlibat dalam kejahatan. Dengan semua perubahan ini, apakah Jogja masih pantas menyandang Kota Pelajar?

Museum DKG Tamansiswa rusak. Tawuran antara Brajamusti dan warga Jogja dengan PSHT semakin memperkeruh suasana Jogja

Pada malam Minggu (4/6), terjadi bentrok antara dua kelompok massa di Jalan Taman Siswa, Kota Yogyakarta. Bentrokan ini melibatkan anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dan kelompok suporter PSIM Yogyakarta yang dikenal sebagai Brajamusti, serta warga Kota Yogyakarta. Akibat bentrokan ini, beberapa benda bersejarah menjadi rusak, termasuk bangku peninggalan Ki Hajar Dewantara, pintu belakang museum, dan taman museum.

Meskipun akhirnya kedua kelompok mencapai kesepakatan damai, insiden tawuran ini telah menarik perhatian publik. Kasus ini sangat memalukan dan tidak pantas terjadi, khususnya di Yogyakarta. Terlepas dari siapa yang salah, kasus seperti ini sangatlah memalukan dan tidak sepantasnya terjadi di Yogyakarta yang dikenal sebagai Kota Pelajar dan Kota Istimewa.

Jogja kini adalah GTA in real life !

Grand Theft Auto (GTA) merupakan sebuah seri permainan video yang dikembangkan oleh Rockstar Games. Game ini berisi tentang pengalaman open-world di lingkungan kota yang luas dan bebas untuk dieksplorasi.

Kehidupan bebas tersebut menjadi semboyan yang kini disematkan kepada Jogja. Sering kali kita menjumpai kasus kriminal yang terjadi di Jogja akhir-akhir ini. Beberapa diantaranya adalah pencurian motor yang cukup umum di Yogyakarta karena kesadaran akan keamanan kendaraan yang rendah. Premanisme, pungutan liar, penganiayaan, pemerkosaan, perampokan, dan kasus ‘keliling golek getih’ atau dikenal sebagai klitih yang melibatkan anak di bawah umur, masih terus terjadi dan menjadi ancaman bagi masyarakat yang tinggal di Yogyakarta. Selain itu, ada beberapa kasus lain seperti bentrok antara kelompok pendukung sepak bola yang menjadi perhatian, namun kini sudah diselesaikan secara damai antara kelompok pendukung sepak bola.

Ya, mungkin semboyan Kota Pelajar dan Kota Istimewa hanya sebatas “formalitas belaka”, karena sekarang semboyan GTA in real life juga semakin pantas untuk disematkan kepada Jogja. Hal ini terlihat dari beberapa kasus yang telah disebutkan sebelumnya, serta beberapa daerah yang memiliki sebutan tersendiri seperti Seturan, Babarsari, Condongcatur, dan Demangan yang dikenal sebagai SCBD-nya Jogja. Beberapa daerah tersebut seringkali memiliki kos-kosan dengan aturan bebas, yang disebut sebagai kos “Las Vegas” atau LV. Daerah Babarsari sendiri kini sering dikenal sebagai “Gotham City” karena sering terjadi kasus kriminal di sana. Tidak jarang, penduduk Jogja justru bangga dengan sebutan GTA in real life daripada Kota Pelajar dan Kota Istimewa.

Keputusan dari pihak Keraton adalah kunci atas semua kejadian ini

Walaupun, bagi sebagian masyarakat tidak terima apabila Jogja yang dikenal sebagai Kota Pelajar dan Keistimewaannya, kini malah dikenal sebagai daerah yang bebas dan menjadi ladang bagi oknum kriminal dalam melaksanakan tindakannya. Jadi, apa tindakan dan keputusan yang akan disahkan oleh Keraton Yogyakarta atas semua tindakan ini? Apakah akan memperketat peraturan mengenai kasus tersebut? Atau bagaimana? Hmmmm… menarik untuk ditunggu. Namun, perlu juga diingat bahwa kita yang menjadikan Jogja sebagai tempat singgah entah singgah sementara maupun singgah untuk sungguh, berperan besar untuk menjaga lingkungan dalam bermasyarakat disini. Kembalikan Jogja menjadi Kota Pelajar yang penuh akan Keistimewaannya. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta Dur Hangkara.

Penghuni pojok belakang bangku kelas Ilmu Komunikasi UNY, menulis kisah kehidupan sosial dan kebudayaan.

Artikel Lainnya: