Cinta Zoro Akan Abadi

Cinta Zoro Akan Abadi

Kapal tilong yang bersandar di dermaga hampir 5 jam itu akhirnya meninggalkan ratusan pasangan mata dengan tangis perpisahan. Tidak puas dengan pelukan perpisahan di depan pintu masuk kapal, semua penumpang kapal memenuhi sisi kiri untuk sekadar melihat wajah yang tak ingin mereka lupa. Membalas lambaian tangan yang mereka sendiri tak tahu mana lambaian untuk dirinya sebab wajah-wajah orang daratan itu mulai samar. Dari semua wajah yang meratapi perpisahan tersebut, Zoro tidak termasuk di dalamnya. Bahkan ketika pertama kali menginjak kaki di lantai besi itu, Zoro langsung mengungsi ke bagian belakang kapal alih-alih berlari ke sisi kiri kapal. Selain tidak ada niat untuk menengok kembali desa tersebut, Zoro juga tidak punya tangan yang mungkin sekadar ia balas lambaiannya. Tidak ada siapa-siapa di dermaga itu yang melambaikan tangan kepada Zoro.

Keheningan di ekor kapal tersebut seketika sirna bersamaan dengan datangnya para penumpang seusai upacara lambai-lambaian di sisi kiri. Perlu diketahui, kapal tilong rute desa Zoro memang tidak seperti ukuran tilong pada umumnya. Tilong ini lebih kecil dari ukuran normal. Selain karena jalur pelayarannya kurang jauh, yakni mencakup tiga kota tetangga, juga karena jumlah penumpang rata-rata tidak sebanyak dermaga lain. “Desa Sabam cuma rata-rata 10 penumpang setiap Tilong berlabuh,” kata ketua pelaksana harian dermaga desa Sabam. Dalam suasana yang pecah dengan keributan seperti sekarang, pikiran Zoro tak bisa lepas dari bayangan Luna di depan pintu rumah.

Mana bisa tidak, kisah asrama yang Zoro dan Luna rajut sudah hampir masuk tahun ke-enam. Dan, di umurnya yang terbilang matang dalam suatu hubungan, Zoro seperti seorang laki-laki pengecut karena meninggalkan Luna tanpa kabar apapun. Tidak demikian halnya ketika Zoro mengingat kembali susahnya mendapatkan hati seorang Luna. Sebelum bersama Zoro selama lima tahun terakhir, Luna termasuk gadis yang sulit dicuri hatinya. Tak jarang dulu banyak anak-anak desa menjadikan kejutekan Luna sebagai ajang pembuktian muka pria siapa yang paling memikat. Semakin anak-anak tersebut berusaha mencuri perhatian Luna dengan dengan aksi konyol dan alay, semakin Luna muak dengan kelakuan mereka. Bahkan ketika kala itu Luna dilamar oleh orang paling kaya di wilayah itu untuk dijadikan anak mantunya, Luna menolak dengan keras. “Tubuh saya bukan untuk dijual dan kalaupun saya jual, yang beli bukan anakmu,” tegas Luna yang tentu saja menggemparkan seisi desa. Mana bisa anak itu menolak orang paling kaya?

Tetapi Zoro memiliki trik sendiri menaklukan hati wanita pujaannya. Sebelum beraksi, ternyata secara diam-diam dia mengamati barang kesukaan Luna di kelas atau barang yang sering dia butuhkan saat pelajaran berlangsung. Maka atas dasar itu, satu barang yang selalu ia bawa ke sekolah yaitu tipe-x. Berawal dari saling pinjam meminjam barang kecil itu, komunikasi Zoro dan Luna mulai terbentuk. Gairah-gairah remaja untuk memiliki seorang pasangan pun terjadi pada mereka. Maka dengan trik yang cukup licik di awal, Zoro telah sepenuhnya menggenggam hati Luna. Dengan demikian, cerita perburuan Luna kala itu dengan sendirinya tamat.

Perjuangan Zoro tidak sampai di situ. Hal yang mesti ia taklukan setelah teman-teman dan hati Luna adalah ketidaksetujuan orang tua Luna. Mengingat kondisi ekonomi keluarga Zoro jauh dari standar sejahtera membuat ayah Luna berpikir dua kali ketika dua tahun lalu keluarga Zoro dalang melamar sang gadis. “Saya tidak ingin anak saya susah seperti kami,” Ucap ayah Luna sebagai bentuk penolakan. “anak ini harus dihidupi dengan kehidupan yang layak,” lanjutnya.

Kapal yang ditumpangi Zoro sudah tak kelihatan dari daratan. Sementara beberapa penumpang lain menikmati air laut yang menutupi semua daratan, Zoro masih di tempat yang sama ketika para penumpang tadi meneteskan air mata di awal perjalanan. Alam bawah sadar Zoro mengantarnya pada nostalgia perjuangan kisah asmara bersama Luna setelah lamaran pertama ditolak dengan keji oleh ayah Luna. Keduanya sepakat untuk menunda tinggal bersama dan Zoro akan mengumpulkan uang untuk menghidupi Luna kelak. “Berjanjilah Zoro, kau akan menikahiku.” Kata-kata itu membangkitkan gairah dan semangat zoro untuk bekerja lebih giat. “Iya sayang, pasti. Untuk sementara kamu tinggal di rumah orang tuamu,” janji Zoro yang barangkali masih ditagih Luna hingga sekarang.

Baca Juga: Pengakuan Yusman

Untuk waktu yang relatif lama hubungan Zoro dan Luna tak ada yang mengusik. Keduanya dihidupi oleh janji sakral bahwa di waktu yang belum pasti kapan akan dipersatukan dalam pernikahan. Keberadaan Don Liem yang hampir setiap hari menghabiskan waktu bersama ayah Luna pun tidak diprediksi sama sekali  oleh siapapun bakal membawa bencana besar bagi Zoro dan mungkin juga Luna. Tak ada yang tahu pasti tujuan dua orang itu, selain Don Liem dan ayah Luna,  berkumpul di tempat yang sama hampir setiap hari. Akan tetapi suatu waktu ketika Luna membawakan kedua sepasang gelas kopi, sempat menguping sedikit isi pembicaraan keduanya. Di atas kursi rotan itu ayah Luna terus ngotot bahwa angka yang dia sebut ini akan keluar jam sore nanti. Don Liem masih dengan pendiriannya bahwa akan tersebut adalah kembaran dari empat digit yang keluar dua hari lalu. “Angka sama atau beberapa yang sama tidak akan muncul kembali!” tegas Don Liem tepat setelah Luna bangkit dari meja kedua orang itu.

Luna bukannya tidak memberitahu ihwal keberadaan Don Liem kepada Zoro. Malahan setiap kali keduanya ketemu diam-diam, teman ayahnya itu menjadi topik pertama yang keluar dari mulut Luna. Zoro sendiri tidak pernah menggubris cerita-cerita Luna tersebut. Toh dia punya urusan hanya dengan ayah Luna. Hal lain yang membuat Zoro cuek dengan cerita Luna adalah tujuan besarnya mengumpulkan uang untuk menikahi wanita disampingnya itu. Selain itu dia anggap angin lalu.

Tragedi besar itu datang di saat Zoro sudah begitu siap memperistri Luna. Siang terik menemani Zoro dengan penuh gairah menunggu Luna, sekaligus mengutarakan niat terbesarnya mempersunting sang gadis. Wajah riang yang membalut muka Zoro berangsur-angsur pudar mendapati ekspresi datar Luna dari arah rumah. Merasa ada yang tidak beres, Zoro meminta penjelasan Luna ihwal keadaannya siang itu. Gadis di depannya itu mengaku baik-baik saja. Tapi tidak bagi Zoro. Sesuatu sedang disembunyikan Luna.

Dunia Zoro seketika hilang. Semua hidup dan mimpi yang dulunya ada di Luna telah pergi entah ke mana. Zoro tak tahu lagi harus mengadu pada siapa perihal nasib malang ini. Perjuangan dan kerja keras Zoro dilenyapkan oleh ketamakan ayah Luna soal uang. Don Liem yang sejak awal mengincar tubuh molek Luna akhirnya berhasil berkat ketamakan sang ayah. Utang judi ayah Luna sudah terlalu banyak dan sangat kecil kemungkinan bisa dibayar setengah sekalipun. Menyerahkan Luna menjadi satu-satunya jalan agar semua angka rupiah itu dihapus.

Perjumpaan yang paling dinantikan Zoro siang itu ternyata sebuah perpisahan menyakitkan. Luna pergi di saat Zoro siap menikahinya. Sementara Luna sejak setelah memberitahu ihwal pemaksaan sang ayah, tidak mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Dia menangisi nasib naas bahwa sebentar lagi dia akan satu rumah dengan lelaki, tapi bukan Zoro. Di tempat itu, di mana di sana mereka membicarakan masa konsep depan keluarga, mereka berpisah.

Baca Juga: Koran Nainggolan

Di atas Tilong ini pun Zoro masih saja meratapi nasib yang selalu tidak berpihak pada dirinya. Tak jemu-jemunya dia memandang daratan yang sebenarnya sudah tak kelihatan. Dari belakang pundak kanan Zoro diremas, dan ketika menoleh tenyata orang asing yang ingin berkenalan. “ngerantau bang, cari uang. Anak saya lahir sembilan bulan lagi,” jawab Zoro ketika ditanya untuk apa pergi ke kota.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UNY

Sejak lama menyukai sastra terutama menulis cerpen dan juga sangat sensitif terhadap isu sosial politik.

Artikel Lainnya: